Bahasan yang saya bahas kali ini mengenai “ permasalahan pada saat melalukan konseling dan psikoterapi”. Ada beberapa faktor yang menyebabkan ketidakberhasilan konselor saat melaklukan konseling bersama konseli. Apa saja faktor tersebut, mari kita belajar dan simak penjelasan berikut :
1.
Hambatan Internal.
a.
berkaitan dengan kompetensi
konselor. yaitu meliputi kompetensi akademik dan kompetensi profesional.
Kompetensi akademik konselor yakni lulusan S1 bimbingan konseling atau S2
bimbingan konseling dan melanjutkan pendidikan profesi selama 1 tahun. Kompetensi
profesional terbentuk melalui latihan, seminar, workshop. Uman Suherman (2008),
lebih lanjut menjelaskan mengenai manajemen bimbingan dan konseling, layanan
bimbingan dan konseling perlu diurus, diatur, dikemudikan, dikendalikan,
ditangani, dikelola, diselenggarakan, dijalankan, dilaksanakan dan dipimpin
oleh orang yang memiliki keahlian, keterampilan, serta wawasan dan pemahaman
tentang arah, tujuan, fungsi, kegiatan, strategi dan indikator keberhasilannya.
b.
Teknik yang
dikuasai oleh konselor kurang sehingga berpengaruh terhadap konseli. Untuk menjadi konselor profesional
memerlukan proses dan waktu. Konselor profesional membutuhkan jam terbang yang
cukup matang. Di samping itu masih juga ditemukan dilapangan, adanya manajemen
bimbingan dan konseling yang masih amburadul.
(Winkel) Adapun masalah-masalah yang dihadapi seorang konselor yang
dapat menghambat keefektifan kerjanya diantaranya yaitu :
1. Memihak/ menitikberatkan pada informasi
sepihak.
Biasanya problema yang didengar konselor merupakan salah satu aspek
persoalan yang dilihat dari sudut pandang konseli itu sendiri. Sebagai contoh,
dalam konseling pernikahan, suami maupun istri bisa mempunyai pandangan berbeda
mengenai satu persoalan. Tentunya konselor tidak dapat menyelesaikan persoalan
dengan baik jika problema hanya didengar dari satu pihak, apalagi kalau sampai
berpihak kepada salah satu konseli.
2. Mengambil kesimpulan yang premature/
tergesa-gesa/ ceroboh.Seringkali yang dikemukakan oleh konseli hanya merupakan
gejala atau akibat dari inti persoalannya dan belum tentu merupakan persoalan
yang sebenarnya. Oleh karena itu seorang konselor harus menjadi pendengar yang
baik dan cermat tidak terlalu cepat mengambil kesimpulan atau langsung memberi
jalan keluar. Terlalu banyak ikut campur. Terjerat dan ikut campur dalam banyak hal mengenai permasalahan konseli
sering dialami oleh konselor. Hal ini membuat konselor tidak obyektif.
2.
Hambatan Eksternal.
Cavanagh (1982)
mengatakan bahwa ada tujuh masalah yang umum dalam suatu hubungan konseling :
kebosanan, hostilitas, berbagai kesalahan konselor, manipulasi, penderitaan ,
hubungan yang membantu versus hubungan yang tidak membantu, dan mengakhiri
konseling. Gladding (1992) menyebutkan suatu fenomena lain yang juga menjadi
masalah konsleor yaitu burnout.
1.
Kebosanan
Menurut Cavanagh
(1982), konselor pemula jarang mengalami kebosanan karena sifat baru dari
pekerjaan mereka. Setiap hari ia bertemu dengan orang-orang yang mempunyai
problem berbeda, dan mencoba ketermapilan dan tanggung jawab yang baru sebagai
konselor
Masalah-masalah
Yang
mungkin timbul karena kebosanan adalah :
· Konselor
mengambil jarak dari kliennya, makin lama makin menjauh. Klien dapat merasakan
hal ini, ia akan kehilangan rasa aman dan rasa diterima yang sangat penting
untuk keberhasilan konseling.
· Konselor
terkadang mengambil cara negatif dalam menangani kebosanannya. Ia mungkin akan daydreaming, atau berfantasi sendiri.
· Kemungkinan
konselor kehilangan informasi penting sangatlah besar, kalau ia dikuasai oleh
kebosanannya, karena ia menjadi kurang perhatian, kurang konsentrasi dan
mungkin malah memikirkan masalahnya sendiri.
Cara
untuk mengatasi :
Cavanagh (1982)
menganjurkan untuk konselor membicarakan hal ini dengan klien. Membicarakan
kebosanan kepada klien merupakan bagian dari konsep genuineness, tetapi perlu diperhatikan cara penyampaiannya sehingga
tidak mengganggu rapport yang sudah
terbentuk dengan klien. Konselor dapat melakukan perubahan bila menghadapi
klien yang membosankan. Beberapa cara untuk mengatasi, misalnya dengan mengubah
waktu pertemuan di jam-jam ketika konselor lebih “awas”. Konselor bisa memberi
tugas kepada klien (misalnya membuat catatan-catatan) yang kemudian akan
dibicarakan dalam sesi konseling.
2.
Hostilitas
Konselor sering merasa
dirinya nice people karena sudah
membantu orang lain dan ia mengharap akan dihargai karena hal ini. Tetapi orang
dalam konseling punya hostilitas terpendam yang harus durai dahulu sebelum bisa
melangkah maju.
Sumber
Hostilitas
Berasal
dari frustrated
needs. Orang yang lapar psikologis, mereka mempunyai resistensi rendah
terhadap stres. Karena ia hipersensitif, maka pertanyaan-pertanyaan yang biasa
sudah dirasakan sangat mengancam mereka.
· Hostiltas
bisa juga ditujukan kepada konselor yang merupakan simbolisasi dari konflik
internal dan eksternal yang dipunyai klien. Mungkin konselor adalah
representasi dari orangtua yang tidak disukai, pasangan atau mantan pasangan
yang dibenci, atau tokoh otoritas.
· Konselor
memang pantas untuk menerima hostilitas klien. Mungkin cara konselor
berkomunikasi dirasakan kurang berusaha membantu.
Menghadapi
Hostilitas
Jarang sekali
kemungkinannya bahwa konselor tidak pernah menjadi sasaran hostilitas. Sangat
penting konselor menemukan apa yang menyebabkan timbulnya hostilitas ini dan
menghadapinya.
Konselor secara sadar
maupun tidak akan mencoba menghindari situasi yang mungkin akan menjadikannya
sasaran hostilitas. Berusaha menghindar dari hostilitas adalah seperti ahli bedah
yang ingin melakukan operasi tanpa terkena darah. Lagi pula, situasi hostilitas
ini jangan dihindari, perl dihadapi, karena klien perlu belajar untuk
menyelesaikan dan menghadapi hostilitas ini.
3.
Kesalahan
Konselor
Subjek pekerjaan
konselor-tingkah laku manusia- adalah hal yang sangat kompleks dan mempunyai
nuansa-nuansa halus. Tidak dapat diukur dengan tepat, tidak dapat dipahami
denga n tepat. Jadi pasti akan terjadi sesuatu kesalahan.
· Salah
satu kesalahan yang dapat dibuat konselor adalah lemah, tidak tegas.
· Tidak
mengakui kesalahan adalah bentuk kesalahan yang lain. Yang membedakan konselor
yang efektif dan yang tidak efektif bukanlah ada atau tidaknya kesalahan,
tetapi apakah mau mengakui atau tidak,kepada dirinya sendiri dan kepada
kliennya.
Konselor yang efektif
mengakui bahwa membuat kesalahan karena empat alasan:
a. Mereka
jujur, dan kejujuran menuntut kalau ada kesalahan harus diakui
b. Orang
yang ada dalam hubungan konseling harus dibantu untuk memisahkan kesalahan yang
mana adalah kesalahan siapa sehingga orang yang melakukan kesalahan dapat
mengambil tanggung jawab untuk mengoreksinya.
c. Konselor
mengakui kesalahannya sebagai cara untuk mengajar klien bahwa kesalahan bisa
diterima dan pentingnya untuk mengakui kesalahan itu kepada orang lain.
d. Konselor
tahu, klien barangkali tahu bahwa konselor membuat kesalahan dan menunggu untuk
melihat apakah konselornya cukup punya rasa aman untuk mengakui kesalahn itu.
4.
Manipulasi
Klien
memanipulasi konselor
Klien memanipulasi
konselor dengan tujuan berikut:
· Untuk
memenuhi kebutuhan
Klien yang datang untuk
konseling biasanya mempunyai kebutuhan yang tidak terpenuhi. Konseling bukan
tempat untuk memenuhi kebutuhan ini, karena menyebabkan klien tidak bisa
berkembang, karena ingin tinggal terus dalam konseling. Klien yang mempunyai
kebutuhan untuk dicintai mungkin akan berusaha memanipulasi konselor agar
kebutuhannya ini terpenuhi, sedikitnya ada perasaan istimewa untuk klien ini.
Konselor yang kebutuhan cintanya tidak terpenuhi akan sangat rentan terhadap
hal ini.
· Untuk
menetralisasi ancaman.
Sangat perlu bagi
konselor untuk mengetahui dalam hal-hal apa saja dia rentan, sehingga bisa
mengurangi potensinya untuk dimanipulasi.
Klien yang berusaha
memanipulasi konselor:
a. Biasanya
mereka tidak sadar tentang apa yang mereka lakukan, karena dilandasi
kebutuhan-kebutuhan, perasaan dan motif yang tidak disadari. Bila dikonfrontasi
biasanya bereaksi dengan hurt, confusion,
anger, denial.
b. Tidak
ada gunanya mengambil sikap defensif. Akibatnya klien akan mengambil sikap defensif
kembali yang tidak bermanfaat.
c. Tidak
ada gunanya bersikap sinis pada orang yang memanipulasi konselor, karena semua
klien seperti itu.
Konselor
memanipulasi klien
Beberapa contoh
konselor yang manipulatif.
· Karena
bosan dan jengkel, konselor mengatakan bahwa kliennya sudah mengalami kemajuan,
dan perlu “istirahat” dari konseling.
· Konselor
perlu memenuhi kebutuhan untuk afeksi dan kehangatan, maka ia berusaha
membangun hubungan ini dengna kliennya, dengan dalih bahwa klien perlu belajar
dan mempraktikannya pada diri konselor.
5.
Penderitaan
(Suffering/Psychological/Bleeding)
Seperti hanya pada
manipulasi, konselor bisa menderita dan sebaliknya klien juga bisa menderita.
Kedua situasi ini dapat menimbulkan masalah dalam hubungan konseling bila tidak
dikenali dan diatasi dengan efektif. Keinginan untuk mencegah penderitaan yang
merupakan sebab utama orang pergi kepada konselor. Ironisnya, efek samping dari
konseling adalah adanya penderitaan ini, karean penderitaan adalah bagian
inheren dari perkembangan kepribadian. Klien harus merasakan penderitaan ini
untuk dapat melangkah kepada keadaan yang lebih positif. Konselor harus mampu
untuk duduk dan membiarkan kliennya berdarah-darah sehingga semua “racun” dalam
tubuhnya keluar. Saat yang tepat dan bagaimana menghentikan perdarahan ini
adalah suatu keterampilan yang didapat berdasarkan pengalaman.
6.
Hubungan
yang Membantu VS Hubungan yang Tidak Membantu
Ada 2 tipe hubungan
yang tidak membantu dalam konseling,
a. Distansi
emosional (emotionally detached)
Konselor yang distan
secara emosional tidak dapat “masuk” kedalam diri klien. Ia tidak dapat
menyatukan dirinya dengan pikiran, perasaan dan persepsiklien sehingga bisa
benar-benar berempati. Konselornya anonimus, sehingga sulit untuk menciptakan rapport dan rasa percaya.
Keterlibatannya bersifat intelektual. Konselor berfungsi sebagai director, tutor atau mentor. Tetapi, kadang-kadang ada pula
konselor yang memang mengambil jarak secara emosional.
b. Kelekatan
emosional (emotionally attached)
Lekat emosional berarti
bahwa konselor dan/atau klien bergantung pada yang lain untuk pemuasan
kebutuhan dasar mereka. Kebutuhan dasar yang terpenuhi dalam hubungan semacam
ini merupakan kebutuhan untuk merasa aman, untuk menerimadan memberi cinta,
untuk dikagumi, dan dibutuhkan. Konseling
memang potensial untuk terbentuknya hubungan semacam ini. Terjadi atau tidak
tergantung pada pemenuhan kebutuhan diluar konseling.
Sikap konselor terhadap
klien
· Parental
(orangtua yang terlalu melindungi)
· Fraternal
(sahabat)
· Romantik
(kekasih atau pasangan)
Hubungan yang membantu
adalah :
Keterlibatan emosional
(emotionally involved): Satu-satunya
hubungan yang sehat antara konselor dan klien adalah hubungan dimana ada
keterlibatan emosional, bukan distansi dan bukan pula kelekatan. Ada hubungan
yang dekat, ada transparasi. Mereka cukup saling mengenal untuk dapat saling
percaya dan saling berempati.
7.
Terminasi
Konseling
Berapa pun sesi
konseling yang terjadi, pada suatu waktu akan berakhir dalam salah satu dari
tiga cara ini, yaitu bila sasaran konseling telah tercapai, klien secara
prematur ingin menghentikan konseling, konselor ingin menghentikan konseling
meskipun klien ingin melanjutkan. Melakukan terminasi, membawa masalah bagi
konselor dan klien.
8.
Burnout
Gladding mendefinisikan
burnout :
Becoming
emotionally and/or physically drained to the point that they cannot perform
functions meaningfully (1992, hlm. 35).
Menurut
Gladding, tidak ada seorang pun yang terus menerus selamanya dapat berfungsi
secara bermakna. Tidak ada orang yang mampu untuk berfungsi secara adekuat
kalau tidak pernah melangkah keluar dari peran profesionalnya.
Untuk
mempertahankanp pendekatan yang sehat, konselor yang sukses memakai cara-cara preventif
untuk mencegah burnout.
Beberapa
saran Gladding (1992) untuk mencegah
atau “mengobati” burnout sebagai
berikut:
· Menjalin
hubungan dengan individu-individu yang sehat.
· Bekerja
dengan rekan-rekan yang committed dan
dengan organisasi yang punya misi
· Committed pada
suatu teori konseling
· Melakukan
latihan-latihan untuk mengurangi stres
· Memodifikasi
stresor pada lingkungan
· Melakukan
self-assessment
· Secara
berkala mengkaji ulang dan mengklarifikasi counseling
roles, expectations, dan beliefs
· Menjalani
terapi pribadi
· Menyisihkan
suatu waktu bebas dan pribadi
· Mempertahankan
sikap detached concern bila bekerja
dengan klien
· Mempertahankan
sikap “selalu ada harapan”.
Terhadap inti persoalannya dan banyak waktu maupun tenaga terkuras yang seharusnya digunakan untuk hal-hal lain. Konseli biasanya menuntut perhatian penuh tanpa peduli bahwa konselor mempunyai tanggung jawab kepada keluarga dan konseli lainnya. Untuk menghindarinya, konselor harus dapat menemukan cara yang tepat untuk mengatasinya tanpa merusak hubungan baik yang mungkin sudah terbina.Di dalam membantu memecahkan masalah-masalah yang dihadapi konseli dengan rasional, konselor tidak boleh bersikap otoriter dan menuduh larangan-larangan yang sifatnya mengatur, sebaiknya dihindari.
Faktor pendukung sarana dan prasarana
Faktor pendukung seperti sarana dan prasarana juga
mempengaruhi keberhasilan konseling dan psikoterapi. Jika ruangan tidak memadai
maka akan ada kemungkinan menjadi masalah, misalnya ruangan terbuka . Nah hal
ini konselor harus menyiapkan seperti ruangan yang kondusif, jauh dari keramaian untuk menghindari kebocoran
permasalahan ke orang lain. Tempat duduk yang sesuai agar konseli nyaman untuk menyurahkan segala isi hatinya.
Jadi inilah beberapa permasalahan pada saat melakukan konseling dan
psikoterapi yang saya dapat dari berbagai sumber , terimakasih sudah membaca. ^_^
DAFTAR PUSTAKA
Corey, Gerald. 2004. Theory
and Practice of Counseling and Psychotherapy. Monterey, California : Brooks/Cole
Publishing Company.
Lesmana, J.M. 2005. Dasar-Dasar Konseling. Jakarta : UI-Press
Prayitno. 2005. Konseling Pancawaskita. Padang : FIP Universitas Negeri Padang
Andi Mappiare, 1982. Psikologi Remaja. Usaha Nasional. Surabaya.
A.R. Daruma, 2003. Pedoman Latihan Interview Konseling. FIP. UNM. Makassar
Prayitno dan Amti, E. 1999. Dasar-Dasar Bimbingan dan Konseling. Rineka Cipta. Jakarta.
Prayitno, 2001. Panduan Kegiatan Pengawasan
Bimbingan dan Konseling. Rineka Cipta. Jakarta.
0 Comments